Saat itu, perasaan yang katanya hal
lumrah dirasakan oleh setiap remaja SMA menghampiri hatiku. Aku, Aisyiah Rahma
Sari siswa SMA kelas 10 yang sedang merasakan betapa hebatnya jatuh cinta.
Memandang wajahnya menjadi hobi baruku kala itu, aku tak kunjung bosan
berpatroli di sekitar kelasnya hanya untuk melihat kegiatan apa yang sedang ia
lakukan. Aku jatuh cinta kepadanya.
Vito Cristian Tarigan, darah Batak
yang tengah memenuhi setiap ruang di hatiku. Wajahnya tidak terbilang tampan,
namun aura dalam dirinya yang mampu menarik hatiku. Entah sejak kapan aku memperhatikannya,
hingga teman-temanku hanya dapat menggelengkan kepala apabila aku menunjukkan
betapa tergila-gilanya aku terhadap dirinya.
“Ai, dia beda, kalian susah buat
jadi satu.” Tegur Aulia, sahabat karibku saat aku menceritakan tentang Vito,
yang memang status agamanya beda denganku.
“So? Tuhan aja mempertemukan kita, ini takdir Aulia. Yang beda akan jadi satu,”
tetapi jawaban yang sama selalu terlontar dari bibirku ketika teman-temanku
menegur bahwa perasaan yang kumiliki salah.
Hari berganti hari aku juga tak tahu
dengan jelas bagaimana prosesnya, tanpa disengaja aku bisa dekat dengan Vito.
Dia ternyata lebih menakjubkan dari apa yang aku pikirkan, dia pantang sekali
melihat perempuan menangis.
“Walaupun katanya orang Batak itu kasar-kasar, tapi jujur aja hatiku teriris
banget kalau lihat perempuan nangis. Mungkin aku ini orang Batak yang hatinya
paling lembut seIndonesia, hahaha,” katanya. Kata-kata itu pun selalu terngiang
dalam benakku, benar saja dia tak pernah membuatku menangis. Bahkan, ketika dia
berbuat kesalahan kepadaku walaupun itu hanya kesalahan kecil, dia akan
mengucapkan beribu kata maaf kepadaku. Kebiasaannya yang sangat takut membuat
orang lain marah dan seringnya meminta maaf kerapkali aku jadikan sebagai bahan
candaan bersama teman-temanku.
“Aku mau kita lebih dari teman Aisyah Rahma Sari.” Ucapan yang hampir membuat
jantungku lompat dan menari-nari di udara. Ucapan yang paling aku
tunggu-tunggu.
“Ih, namaku Aisyiah bukan Aisyah.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan agar
ekspresi gugupku tak terbaca olehnya.
“Beda ya? Maaf deh. Terus jawabannya apa?” lagi-lagi kata maaf.
“Kasih aku waktu 3 hari” aku sengaja meminta waktu untuk berpikir, agar tak
terlihat terlalu agresif di matanya. Bisa jatuh harga diriku sebagai pelajar
teladan di sekolah (memangnya apa hubungannya?). padahal aku ingin sekali
langsung menjawab “iya”.
“Tidak kelamaan? Baiklah akan aku tunggu.”
Sungguh panjang rasanya menunggu
hari ketiga itu datang. Karena aku tak sabar menunggu, akhirnya keesokan
harinya aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. Betapa bahagianya
dia sore itu sepulang sekolah. Awalnya teman-temanku tak habis pikir dengan
tindakanku untuk berpacaran beda agama, tapi seiring berjalannya waktu mereka
menerima keputusanku. Orangtuaku sudah pasti tidak tahu, untuk berpacaran saja
aku dilarang keras apalagi jika mereka tahu aku berhubungan dengan Vito yang
latar belakangnya adalah pemeluk agama kristen.
Aku bahagia menjalin kasih dengan
Vito, hubungan kami tak pernah diluar batas. Vito sangat menghargai aku sebagai
pemeluk agama islam, bahkan dia sering mengingatkanku untuk menunaikan sholat 5
waktu yang menjadi kewajiban untuk setiap orang muslim, sesekali dia juga ingin
merasakan bagaimana rasanya berpuasa. Aku pun sebaliknya, aku juga menghargai
agama yang diyakininya.
“Ai, kok kamu gak pakai jilbab sih
kayak teman-teman perempuan muslim kita yang lain?” Vito menanyakan hal yang
tidak kuduga, saat kami sedang belajar bersama di perpustakaan.
“Memangnya kenapa? Aku jelek gitu kalau gak pakai jilbab?”
“Bukannya gitu, cuma kayaknya kalau pakai jilbab kamu tambah cantik deh.”
“Gombal banget. Aku belum siap Vit.” Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari
buku-buku di depanku.
“Tapi katanya menutup aurat itu wajib untuk perempuan muslim. Jadi semua
perempuan muslim harus pakai dong, siap gak siap.” Aku merasa tertohok dengan
kata-kata Vito kala itu.
Saat pulang sekolah aku
diberitahukan oleh mamaku bahwa sehabis ujian kenaikan kelas, aku akan pindah
ke pulau Sulawesi. Betapa terkejutnya aku, pikiranku langsung tertuju pada
Vito, bagaimana hubunganku jika harus berada pada jarak yang jauh dengannya.
Aku tak terima dengan keputusan orangtuaku itu, aku berlari keluar rumah
mencari tempat untuk melampiaskan kemarahanku. Aku duduk di bangku taman sambil
menutupi wajahku yang telah berlinang air mata, tanpa kusadari seseorang telah
duduk sedari tadi di sampingku.
“Kamu nangis? Kenapa? Ayo cerita
sama aku.” Ternyata Vito.
Cukup lama aku berpikir, merangkai kata yang harus aku keluarkan.
“Aku mau pindah ke Sulawesi Vit.” Aku pun membuka suara.
Terlihat ekspresi terkejut dari wajah Vito, dia tak mengucapkan sepatah
katapun. Hening, hanya desiran angin yang membelai lembut tubuh kami berdua.
Setelah beberapa menit saling berdiam diri, Vito pun mengeluarkan suaranya.
“Aku antar pulang ya. Udah hampir gelap, kamu mau sholat maghrib kan?” dia
langsung berdiri untuk menghampiri motornya tanpa menunggu respon dariku, aku
pun hanya mengikutinya dari belakang.
Sejak hari itu Vito seperti
menghindar dariku, dia tak ingin berpapasan denganku. Apabila ia melihatku dari
kejauhan, dia akan berpindah tempat untuk menghindariku. Aku datang ke
kelasnya, teman-temannya selalu mengatakan dia tidak ingin diganggu.
Ujian kenaikan kelas sudah hampir
selesai, itu artinya hari keberangkatanku ke Sulawesi akan semakin dekat. Aku
bingung bagaimana caranya mengucap salam perpisahan dengan Vito kalau dia saja
tak ingin bertemu denganku.
“Vito… Jangan lari, aku capek.” Sepulang sekolah aku mengejarnya untuk bisa
berbicara dengannya. Mendengar suaraku dia pun menghentikan langkahnya. Aku
maju beberapa langkah agar bisa sejajar dengan tempatnya berdiri. Tapi dia
mencegahku.
“Cukup di situ, aku gak kuat melihat wajahmu kalau kamu cuma mau bilang pisah
sama aku.” Aku menurutinya, aku berdiri sekitar 5 meter di belakangnya.
“Hei, siapa yang mau pisah sama kamu? Aku cuma pindah tempat tinggal Vito
Cristian Tarigan, tapi hati aku tetap di sini. Jangan jadi pengecut Vito, liat
muka aku. Mungkin hari ini, hari terakhir aku di sini. Pesawatku jam 8 nanti
malam.” Tanpa terasa bulir bening telah membasahi pipiku.
“aku pulang.” Hanya itu respon yang diberikan Vito.
Pukul 19.00, Bandar Udara Achmad
Yani, Semarang.
Udara dingin khas malam hari merasuki tubuhku, aku merapatkan jaketku sambil
berjalan menuju ruang tunggu. Handphoneku bergetar mengagetkanku. Ternyata bbm
dari Vito, buru-buru aku melihatnya.
“PING!!!”
“Aku di lobby, masih mau lihat wajah menjengkelkanku?”
Tanpa berpikir panjang, aku izin
kepada orangtuaku, dan berlari ke area lobby bandara. Mataku mencari-cari sosok
Vito.
“Hei cantik, aku pikir kamu gak mau lihat aku lagi.”
“Jahat.” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
“kamu juga jahat, tega-teganya kamu ninggalin aku. Ini biar kamu selalu ingat
sama aku. Maaf ya gak sempat aku bungkus.” Ucap Vito sambil menyodorkan sebuah
jilbab kepadaku.
“Jilbab?” aku mengerutkan kening.
“Pakai kalau kamu udah siap.” Vito tersenyum.
“Siap bos. Aku juga punya sesuatu buat kamu. Nih, jam tangan.” Aku pun memberi
kotak jam tangan kepada Vito.
“Makasih. Kenapa jam tangan?” Tanya Vito kepadaku.
“Aku mau kamu selalu ingat kenangan manis kita dari jam itu, setiap detik yang
pernah kita jalani sama-sama.” Aku berusaha untuk tersenyum.
“Aku mau jangan ada tangisan malam ini. Karena kita harus yakin, malam ini
bukan pertemuan terakhir kita. Kita bakal ketemu lagi nanti, aku janji dan kamu
harus yakin sama aku.” Aku hanya menanggapi dengan anggukan kepala.
“20 menit lagi jam 8, hati-hati ya. Aku tunggu sampai pesawat kamu berangkat”
Aku dan Vito pun berpisah.
Aku menitikkan air mata saat pesawat
telah lepas landas dari Bandar Udara Achmad Yani, tapi segera kuseka air mataku
saat mengingat perkataan Vito “kita pasti akan bertemu lagi”. Setelah merasakan
betapa penatnya duduk di kursi, burung besi yang kami tumpangi pun mendarat di
Bandar Udara Mutiara Sis Al-Jufri Palu, Sulawesi Tengah.
Awalnya hubungan jarak jauh yang
kami jalani memang terasa manis, tapi lama kelamaan semuanya berubah. Kita tak
punya banyak waktu untuk sekadar chatingan Karena terhalang kesibukan
masing-masing. Disaat aku ada waktu luang Vito malah sibuk dengan
organisasinya, ketika Vito punya waktu luang aku sibuk dengan kegiatan
bimbelku.
“PING!!!”
“Lgi ap?”
Vito memulai pembicaraan duluan.
“Nyatai aj. Dah lma loh Vit kita gk chatan gini.”
“Iya Ai. Sebenernya aku mau ngomong sesuatu.”
“Ap? Ngomong aj, santai kali Vit.”
“Aku sadar skrang, kita emg beda Ai. Kita gk bisa nyatu. Terlalu bnyak
rintangan dlm hubngan kita, jarak kita skrang bener2 jauh Ai.”
“Hm, terus?”
“Aku rasa kita sampai sni aj Ai. Aku yakin kamu pasti juga capek buat terus
sembunyiin hubungan kita dari orangtua kamu.”
“sampai sini aja Vit? Mana janji-janji manis kamu Vit? Kalau cuma kayak gini,
kmu gak perlu bawa aku terbang ke langit indah kamu, kalau akhirnya kamu
lepasin aku gitu aja sampai aku jatuh ke daratan dengan rasa sakit yang aku
sndri gk tau gmana ngobatinnya.”
“Maaf Ai”
“Maaf? Aku bosen dengar kata maaf kamu yang gk ad gunanya itu.”
Aku langsung menonaktifkan handphoneku dan bersembunyi di balik tebalnya
selimutku sambil menangis dalam diam.
Aku tak menyangka bahwa Vito
melakukan ini kepadaku. Yang membuatku semakin terpuruk adalah seminggu setelah
kami putus hubungan, ternyata Vito pacaran dengan Crishye teman sekelasku dulu.
Pikiranku kacau, aku merasa ini tidak adil bagiku yang telah menanamkan rasa
cinta di hatiku dan tumbuh dengan suburnya untuk Vito. Kenyataannya terlalu
pahit bagiku. Beberapa hari bahkan bulan nilai-nilaiku turun drastis hanya
karena pikiranku terfokus dengan kekecewaanku terhadap Vito. Aku juga sempat
mendapat teguran dari beberapa guru yang mengajar di kelasku karena seringnya
aku melamun.
Namun, aku merasa harus bangkit. Aku
mulai mencari kesibukan dengan menambah jadwal bimbelku, agar dapat dengan
mudah melupakannya. Pagi, siang, sore, malampun aku gunakan untuk membaca
buku-buku yang sempat aku beli disela-sela sibuknya kegiatan bimbelku, sengaja
aku membeli buku-buku yang berukuran tebal agar waktuku tersita untuk
menyelesaikan bacaanku. Alhasil, saat pengumuman kelulusan aku menjadi 3 besar
peraih nilai UN tertingi di sekolahku. Orangtuaku sangat bangga, dan aku
berhasil masuk di universitas ternama di kota Makassar.
Di sinilah aku sekarang, Makassar.
Aku memulai tahap hidupku selanjutnya sebagai mahasiswa jurusan psikolog. Aku
memilih untuk tinggal di sebuah kosan sederhana dekat kampusku, daripada
tinggal di rumah keluarga mamaku. Selain tidak ingin merepotkan, aku juga ingin
belajar mandiri.
Saat aku ingin berangkat ke kampus,
tak sengaja aku menemukan jilbab yang dulu diberikan Vito kepadaku. Aku
mencobanya dan berpikir apakah memang lebih cantik memakai jilbab seperti yang
dikatakan Vito dulu? Aku tersenyum melihat pantulan wajahku dari cermin, aku
jadi teringat Vito.
Sesampaiku di kampus, aku sibuk
mencari kak Mirna, senior yang memang sangat dekat denganku. Setelah
berkeliling tapi aku tak menemukan batang hidungnya, aku pun mengirim pesan
kepadanya untuk menemuiku di kantin. Aku rasa tidak sopan memang menyuruh
senior untuk mendatangiku, tapi untuk kak Mirna itu tidak masalah.
“Assalamualaikum, kenapa ki’ dek? Kayak
penting sekali yang kita mau bilang,” kak Mirna menghampiriku dengan logat
kental makassarnya. Perempuan syar’I yang menjadi gudang tempatku bertanya.
“Walaikum salam kak, sekitar 3 tahun yang lalu toh mantanku kasih ini ke saya
kak.” Sambil memperlihatkan jilbab yang diberikan Vito kepadaku. Semenjak
sering bergaul dengan kak Mirna, aku jadi ikut-ikutan berlogat Makassar.
“Aih, nasuruh ki’ itu tutup aurat ta’ dek.”
“Begitukah kak?”
“Iyalah, percaya moko sama saya. Lagipula cantik ki’ juga kalau pake hijab dek,
baru bebas ki’ dari godaan laki-laki nakal.”
“Kristen itu mantanku kak.”
“Begini dek, pacaran itu tidak boleh dalam agama ta’ saya yakin kita tahu ji
juga toh? Apalagi ini pacaran sama beda agama. Susah ki’ dek, kalau memang ada
orang yang kita suka cintailah dia dari doa dek. Allah paling suka orang
begitu. Tutup mi aurat ta’ dek, baru minta ampun ki’ sama Allah, janji tidak
mau ki’ lagi buat kesalahan yang sama. Insya Allah belum terlambat ki’ untuk
tobat dek. Pergi ka’ dulu nah ada jam kuliahku ini. Dadah.” Kak Mirna
melambaikan tangan kepadaku. Aku merenungi kata-kata kak Mirna barusan, tanpa
sadar bulir bening berhasil lolos dari pelupuk mataku mengingat seberapa banyak
dosa yang telah kuperbuat.
Hari ini seperti hari-hari
sebelumnya aku berangkat kuliah pagi-pagi dan sampai di kampus dengan tujuan
pertama adalah kantin. Namun, ada yang sedikit berbeda dariku hari ini, hari
ini kepalaku ditutupi oleh kain cantik pemberian Vito dengan pakaian longgar
berwarna senada. Ya, aku memutuskan untuk memakai jilbab mulai sekarang. Aku
sadar sedari dulu telah banyak aturan yang aku langgar, namun hari ini aku
ingin menebus semuanya. Menjadi insan yang patuh dan taat oleh ketetapan yang
telah ditetapkan-Nya. Aku bukannya telah menjadi orang paling baik sekarang,
tapi aku sedang dalam perjalanan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Terima kasih Vito, yang kamu dan
teman-temanku katakan memang benar. Kita beda, kita susah buat nyatu, tapi
setidaknya kita bisa satu dalam ikatan pertemanan. Aku berharap suatu hari
nanti kamu dapat menemukan pasangan hidupmu yang tentunya lebih baik dari
Aisyiah Rahma Sari ini yang memiliki setumpuk kekurangan.
Cerpen Karangan: Kurnia Ramadhani
Facebook: Kurnia Ramadhani