Bagaimana seseorang bisa menjadi Muhammadiyah? Setidaknya ada lima jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertama karena adanya konversi, yaitu mereka yang awalnya menganggap keyakinan tertentu sebagai pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang, namun kemudian ia berubah meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting. Dan lagi, keyakinan baru itu menjadi tempat ia menumphakan seluruh aktivitas dan energinya. Sedangkan yang kedua adalah mereka yang bekerja di amal usaha milik Muhammadiyah, yang kemudian menjadi Muhammadiyah. Ketiga mereka yang bekerja di amal usaha Muhammadiyah, namun menjadi ancaman Muhammadiyah. Dan yang keempat adalah mereka yang tak sekedar menjadi Muhammadiyah, mereka menjadi aktivis Muhammadiyah (namun) dengan tetap membawa pemahaman dan pemikiran yang sebelumnya dimiliki. Sedangkan yang terakhir adalah mereka yang mengkaji Muhammadiyah atau Muhammadiyanist.
Lima klasifikasi atau ketegori tersebut secara sederhana bisa dipahami sebagai; pertama konversi Muhammadiyah, keduasimply menjadi Muhammadiyah, ketiga fake Muhammadiyah, dan keempat menjadi aktivis Muhammadiyah. Terakhir adalah pengkaji Muhammadiyah.
Begitu kira-kira berbagai jalan mengapa seseorang menjadi Muhammadiyah yang dibuat oleh Najib Burhani. Tapi, sepertinya klasifikasi yang dibuat Najib Burhani itu ada yang tertinggal. Najib Burhani (mungkin) lupa untuk memasukkan juga kategori menjadi Muhammadiyah karena faktor keturunan atau warisan orang tua. Karena toh, mau tidak mau, sadar ataupun tidak, menjadi Muhammadiyah dengan cara mewarisnya dari orang tua itu nyata adanya.
Djoko Susilo adalah contohnya, meski secara “formal” ia bergabung dengan Muhammadiyah pada tahun 1993. Namun, jauh sebelum kartu tanda anggota Muhammadiyah itu dipegang, ia terlebih dahulu sudah berproses menjadi Muhammadiyah saat mengenyam pendidikan di TK Bustanul Athfal. Ayahnya, bahkan sempat juga tercatat sebagai utusan Pemuda Muhammadiyah Boyolali untuk muktamar kesembilan Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1966 di Jakarta. Djoko Susilo mewarisi ke-Muhammadiya-han ayahnya.
Becoming Muhammadiyah adalah perjalanan menjadi, ia merupakan proses yang panjang dan tak berujung. Proses menjadi hanya akan selesai dialami oleh manusia jika ia telah berhenti, yaitu saat perkongsian jiwa dan raga selesai. Karena bisa saja dalam perjalanan proses menjadi itu, ada jalan lain yang lebih menarik untuk ditelusuri dari jalan yang ditempuh. Perpindahan ‘jalan’ itu lumrah dan biasa saja, karena memang itu adalah proses.
Di atas hanyalah potongan cerita dari tujuh belas cerita yang terhimpun dalam buku “Becoming Muhammadiyah”. Sebuah buku yang lahir untuk menyambut muktamar ke-47 Muhammadiyah di Samarinda.
Sebuah Buku Tentang Jatuh Cinta
Buku Becoming Muhammadiyah adalah buku tentang jatuh cinta, sebuah buku yang memaparkan bagaimana seseorang meletakkan pilihan, lalu melihat bagaimana orang itu membangun pilihannya dengan cinta. Tujuh belas orang dengan tujuh belas cerita jatuh cinta pada Muhammadiyah.
Karena ini buku tentang jatuh cinta, kita akan mudah menemukan cerita bagaimana prasangka lahir. Tengoklah bagaimana Najib Burhani, Ma’mun Murod Al Barbay, dan Ahmad Fuad Fanani berada dalam prasangka itu, mereka tidak lahir dari rahim orang tua atau lingkungan Muhammadiyah. Mereka berdua mengenal Muhammadiyah dari teropong kecil masa kecil yang seringkali buram karena prasangka. Hingga pada akhirnya, mereka menemukan definisi muhammadiyah dalam hidup dan perjalanan intelektualnya.
Ada juga cerita tentang anak muda yang merantau ke sebuah kota untuk melanjutkan pendidikan, dalam keterbatasannya, ia kemudian bertemu dengan “rumah” yang menaungi diri “fisik”, yang juga di dalam rumah itu ditawarkan gagasan dan aktivisme.
Pula dengan kenyataan bahwa rindu seringkali menggoda tiba-tiba, Andar Nubowo mengalami hal itu. Saat berada di Paris untuk melanjutkan studi, Andar sadar bahwa identitas religius dalam bentuk pengajian dan taklim seringkali berubah menjadi arena perjumpaan dan persemaian ideologis. Ia kemudian membentuk Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di sana. Hal sama juga dialami oleh Agus Purwanto ketika berada di Jepang untuk menyelesaikan pendidikan master dan doktoralnya, ia didapuk menjadi menjadi vice presiden Saijo-Hiroshima Moslem Association. Ia lantas merutinkan mengajian berkala untuk komunitas muslim. Dawuh Kyai Dahlan agaknya cocok dengan apa yang dialami oleh Andar dan Agus Purwanto “Berusahalah menjadi orang Islam yang berani menunjukan identitas yang sebenarnya, bukan malah ingin menyembunyikannya”.
Untuk Siapa?
Buku ini adalah buku tentang jatuh cinta, jadi jangan harap banyak untuk menemukan cerita duka (nestapa), kalaupun ada, itupun tak seberapa banyak dari kisah jatuh cintanya. Jika ingin dramatis, bisa saja dibilang kisah sedih di sini adalah sebuah penyemurna cerita dari perjalanan menjadi, yang tanpanya (dan itu pasti tidak mungkin) – perjalanan menjadi itu tidak akan seindah ini. Ekstrimnya adalah kisah-kisah dalam buku ini tak lagi (layak) ditulis.
Namun sayang, dari tujuh belas cerita dari tujuh belas orang ini hanya dua pelaku sejarahnya yang perempuan, lima belas lainnya adalah laki-laki. Seolah-olah dunia harakah adalah dunia (dominasi) laki-laki. (Tokoh) Perempuan seringkali diberikan porsi yang amat sedikit atau dalam bahasa yang lebih kasar cerita perempuan (selalu) dihilangkan atau tidak direkam dengan baik.
Sebagai sebuah kumpulan reflektif, buku ini layak dibaca sembari mimum teh di pagi hari atau kopi saat senja. Secara pribadi, saya sebenarnya menyarankan buku ini dibaca oleh anak-anak muda yang sedang mengalami masa transisi ‘keyakinan’, ataupun yang sedang berjuang memperteguh keyakinannya. Setidaknya, dalam buku ini mereka bisa melihat bagaimana memaknai perpindahan ‘keyakinan’ dan atau mempertahankan ‘keyakinan’ dengan cantik, dan lebih dalam lagi lewat bingkai aktivisme.
Tak perlu kiranya tulisan ini diperpanjang lagi. Jika waktu pagi anda luang dan hanya berteman teh manis hangat, atau saat sore hanya bertemu kerumanan mobil yang tak bergerak. Ada baiknya anda berteman dengan buku ini. Percayalah tak ada dahi yang berkerut atau mata yang memicing karena susah menangkap cerita. Membaca buku Becoming Muhammadiyah itu seperti mendengarkan cerita temanmu, teman dekatmu.
Untuk mengakhiri tulisan ini, agaknya baik jika merenungkan kembali nasehat Kyai Dahlan tentang bagaimana kita memperlakukan Muhammadiyah “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah”.
Sumber Mizan.com (Nur Hayati Aida)
< Sw >
0 komentar:
Posting Komentar