IPM dan Radikalisme

by April 06, 2017 0 komentar
Bom Molotov meledak di Samarinda. Kota penyelenggara Muktamar ke-20 Ikatan Pelajar Muhammadiyah (14 November-16 November 2016). Ledakan bom itu merengut nyawa Intan Olivia Marbun. Hastag #RIPIntan pun menjadi trending topic twitter pada 14 November 2016. Bocah 2,5 tahun itu menjadi korban ledakan bom Molotov di gereja Oikumene, Samarinda, Minggu, 13 November pagi.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa pelaku bom itu bernama Juhada alias Jo. Ia adalah residivis aksi teror kelompok radikal. Konon Jo terkait dengan kelompok Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Polisi pun juga telah menangkap lima terduga pelaku peladakan bom.
Ledakan bom yang kembali menyeruak di tengah kegaduhan Ibu Kota seakan menimbulkan tanda tanya. Mengapa perilaku kebencian ini terus tumbuh di Indonesia. Bagaimana IPM sebagai organisasi otonom Muhammadiyah berperan serta dalam mengurai masalah itu?
Kemanusiaan
Radikalisme merupakan wajah buram kemanusiaan. Radikalisme yang berujung pada rasa benci dan meniadakan kelompok tertentu dengan berbagai cara menjadi musuh keadaban. Kebencian atas nama apapun bukan pilihan bijak. Kebencian hanya akan menutup mata hati. Saat mata hati tertutup maka kebenaran akan sirna. Saat itulah dunia akan chaostic (ricuh). Pasalnya, dunia tanpa kompas pemandu. Dunia dalam keadaan limbung karena manusiannya sudah tidak lagi menjadi seorang pemimpin (khalifah).
Mengembalikan kemanusiaan utama seakan menjadi mantra untuk “melawan” radikalisme. Kemanusiaan menjadi kata kunci dalam membentuk dan membangun kembali semangat kebersamaan dan persatuan. Kita diciptakan berbeda, bukan untuk saling mencela. Namun, untuk saling menguatkan satu sama lain. Persatuan inilah yang dapat menjadi penguat kebangsaan yang kini kian rapuh.
Dalam kondisi yang demikian, bagaimana posisi IPM berkontribusi? IPM yang banyak bergerak membina generasi muda (12-18 tahun), mempunya peran signifikan dalam proses kemanusiaan. IPM mendedikasikan diri sebagai organisasi kepemudaan literet dapat memulai dengan membangun kesadaran. Artinya, spirit literasi yang selama ini menjadi fokus garapan utama IPM dapat membekali anak muda agar tidak terjerumus pada radikalisme.
Radikalisme perlu dilawan dengan cara beradab. Yaitu, pembinaan pemahaman diri dan lingkungan yang paripurna. Artinya, IPM sebagai peer groups (teman sebaya), mempunyai tanggung jawab moral menjadikan seorang anak muda mempunyai jiwa keterbukaan. Mereka mau memberikan kritik dan mendapatkan kritik. Kritisisme inilah yang akan mendorong seseorang menjadi “melek”. Mereka tidak mudah menerima begitu saja gagasan yang dibawa orang lain. Setiap gagasan orang lain perlu dicermati sehingga yang muncul adalah tindakan nyata, bukan taqlid (sekadar ikut-ikutan).
Pembinaan ini akan efektif saat seseorang masih tergolong muda (usia belia). Pemahaman yang utuh tentang diri, lingkungan, dan kebangsaan ini dapat disemai sejak bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Generasi Damai
IPM  sebagai organisasi utama di sekolah-sekolah Muhammadiyah merupakan benteng bagi terciptanya kader damai (peacefull). Kader damai ini tidak hanya sekadar juru bicara organisasi induk (Muhammadiyah), namun menjadi pelopor kehidupan beragama yang sehat.
Kader IPM perlu mengembangkan jejaring organisasi ke sekolah-sekolah negeri. Pasalnya, menurut beberapa penelitian, sekolah negeri seringkali menjadi ruang bebas masuknya “paham radikal” dalam diri siswa.
IPM perlu resah saat banyak teman sebaya terjebak dalam pemahaman yang “tidak benar”. Mereka perlu dikembalikan pada jalan yang lurus. Yaitu, jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan kenikmatan. Proses itu mewujud dalam kelompok diskusi literasi sebagai corong utama.
Gerakan literasi di sekolah merupakan ujung tombak terwujudnya generasi damai. Generasi yang senantisa menyebarkan cinta dan bertindak atas nama cinta. Saat pemuda mempunyai spirit cinta, maka radikalisme akan hilang dengan sendirinya. Pasalnya, cintalah yang akan membentuk paradigma berpikir dan bertindak atas nama kemanusiaan paripurna. Mereka senantisa menganggap orang lain sebagai saudara. Saudara yang patut untuk dilindungi harkat dan martabatnya. Saudara yang saat sakit, ia merasakan kondisi yang sama. Alangkah indahnya dunia ini saat setiap orang, yang dipelopori generasi muda mampu mewujudkan hal itu.
Masuk Sekolah Negeri
Oleh karena itu, tantangan IPM saat ini kian berat. IPM memanggul amanat umat menjadikan generasi muda bangsa melek tantangan zaman. Salah satunya adalah masalah radikalisme yang kini telah menjangkiti generasi muda.
IPM perlu segera masuk dan mengembangkan sayap organisasi ke sekolah negeri. Pasalnya, sekolah negeri perlu sentuhan literasi ala IPM. IPM perlu menyakinkan pengelola sekolah bahwa keberadaan IPM akan membekali siswa menjadi lebih baik. Sekolah negeri pun perlu membuka ruang bagi IPM berkembang, agar pemahaman keagamaan menjadi inklusif.
Saat gerakan IPM mampu mewarnai pemikiran serta tidakan generasi muda, maka tugas kemanusiaan ini telah ditunaikan secara baik. Organisasi ini akan tegak sebagaimana jargon “nun wal qalami wa ma yasturun” (Demi pena, dan apa yang tertulis dengannya). Selamat Muktamar IPM.
*)Benni  Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Anggota Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
< Sw >

Unknown

Administrator

Terimkasih Atas Kunjungannya. Yuk Mari Berbagi kebaikan dengan Share artikel diatas :-) . Atau kirim karya Kamu ke email kami : jurnalismuhda@gmail.com ### “ Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (H.R. Muslim) ###

0 komentar:

Posting Komentar