Moratorium UN dan Revolusi Mental

by April 06, 2017 0 komentar

Moratorium Ujian Nasional (UN) masih menjadi polemik.  Hal ini dikarenakan usulan moratorium UN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy diminta untuk mengkaji ulang oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (7/12/2016). Jusuf Kalla menilai ada pemikiran terbalik terhadap moratorium UN pada 2017.
Menurut Muhadjir pilihan ganda hanya mendeteksi tiga tingkat kemampuan siswa, yaitu mengenal, menghafal, dan mengaplikasikan yang dikenal dan dihafal. Namun, belum sampai pada kemampuan berpikir kritis, inovatif, mencipta dengan daya kreatif. Bagi Muhadjir pilihan ganda tidak tepat dijadikan metode evaluasi UN (6/12/2016).

Gagasan Mendikbud perlu diapresiasi dan didukung oleh para ahli pendidikan dan praktisi pendidikan. Menteri Muhadjir telah melakukan tobosan kebijakan revolusi mental dengan mengahiri “pendidikan gaya bank” yang selama ini diterapkan di Indonesia. Siswa hanya menghafal materi pelajaran bahkan jawaban. Seakan-akan siswa dipandang sebagai safe deposit box, di mana pengetahuan dari ditransfer ke dalam otak siswa. Apabila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal dikeluarkan pada saat ujian.

Selama ini, siswa diposisikan sebagai objek. Hal ini merupakan praktek atau wujud dari dehumanisasi yang bertentangan dengan hakikat pendidikan. Ujian Nasional merupakan kebijakan yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi. Dehumanisasi menyebabkan siswa tercerabut dari akar-akar budaya bangsa Indonesia. Akibatnya, siswa tidak mengenal jati diri bangsa dan karakter yang lahir dari nilai luhur Pancasila.

Menurut Paulo Freire pendidikan adalah ‘proses memanusiakan manusia kembali manusia. Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis entang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Dalam kesadaran magis, yakni suatu kesadaran siswa yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya tidak bisa melihat kaitan kebodohan dengan sistem kebudayaan. Sehingga pendidik dan siswa menyikapi UN dengan do’a-doa atau ritual khusus untuk menghadapi UN, karena khawatir tidak lulus. Namun, hal ini sudah direspons oleh Mendikbud Anies Baswedan dengan menjadikan UN hanya sebagai pemetaan, bukan penentu kelulusan.

Berbeda dengan kesadaran naif melihat siswa menjadi akar penyebab masalah pendidikan. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achievement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis Moratorium Ujian Nasional, bagi Wakil Presiden disebabkan karena siswa. Sehingga muncul anggapan UN harus dipertahankan, karena jika tidak ada UN ditakukatkan “tidak ada motivasi belajar”. Dalam konteks ini Wakil Presiden adalah naif. Karena melihat siswa sebagai masalah yang harus disiplinkan.
Terahir, dalam perspektif kritis lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Artinya yang harus ditinjau adalah sistem UN masih relevan atau tidak terhadap problem dan visi pendidikan nasional. Sebenarnya langkah Kemendikbud sudah tepat dengan menghapus UN yang tidak berpihak kepada kepantingan pelajar. Justru Mendikbud sepertinya memahami betul visi Presiden Jokowi dengan gagasan revolusi mentalnya.

Gagasan revolusi mental, tak akan tercapai tanpa revolusi paradigma pendidikan. Karena itu pendidikan gaya bank, harus segera diakhiri. Di globalisasi dan revolusi ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi ini, siswa harus dibekali pola pikir kritis. Sehingga siswa mampu mengaitkan antara ilmu pengetahuan dengan struktur serta sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Maka pendidikan yang mangajarkan siswa berpikir hitam-putih, benar-salah, melalui pilihan ganda harus segera dihapuskan dari sistem pendidikan nasional.

Dalam perspektif pendidikan kritis Paulo Freire, tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur ketidakadilan. Siswa harus diajarkan berpikir kreatif, kritis dan bebas, sehingga manjadi pencipta (creator) kreatif. Bukan penghafal pengetahuan, tetapi pencipta dan pengembang ilmu pengetahuan. Pendidikan harus mampu menciptakan ruang pelajar untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis apa penyebab dari masalah yang ada di lingkungan. Semoga dengan adanya moratorium UN ini menjadikan gagasan revolusi mental semakin membumi di bumi pertiwi.
*) Penulis adalah Azaki Khoirudin, Sekretaris Jenderal PP IPM 2014-2016
< Sw >

Unknown

Administrator

Terimkasih Atas Kunjungannya. Yuk Mari Berbagi kebaikan dengan Share artikel diatas :-) . Atau kirim karya Kamu ke email kami : jurnalismuhda@gmail.com ### “ Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (H.R. Muslim) ###

0 komentar:

Posting Komentar