KabarMuhda--Santri-santri yang berguru pada seorang kyai mulai merasa bosan. Pasalnya, setiap hari sang Kyai hanya mengajarkan sesuatu yang sama untuk jangka waktu yang sangat lama. Saking bosannya, para santri itu sering membuat lelucon dengan bertanya pada sesamanya, “Hayo, belajar apa hari ini?”saking mereka merasa bosan. Sang Kyai tahu benar bahwa santrinya merasa bosan dengan yang ia ajarkan, sesuatu yang sama setiap hari. Sang kyai mengajarkan surat al-Ma’un setiap hari, setiap pertemuan. 1 surat dari 114 surat yang menjadi bagian al-Qur’an itu diajarkan berulang-ulang. Meski begitu, sang Kyai tidak marah saat para santri merasa bosan, menjadikannya lelucon, atau meningalkan kelas karena bosan, beliau kemudian bertanya pada santri-santrinya:
“Sudah diamalkan surat al-Ma’un ini?”“Sudah.” jawab para santri.“Diamalkan di mana?” tanya Kyai melanjutkan.“Sudah kami hafalkan suratnya, dan kami pakai dalam salat lima waktu.”
Singkat cerita, setelah mendengar jawaban dari santrinya, keesokan harinya sang Kyai mengajak para santrinya membawa apa saja yang bisa diberikan kepada fakir miskin yang ada di Jogjakarta. Dalam ajakan itu, sang Kyai sebenarnya sedang menjelaskan makna surat al-Ma’un yang setiap hari ia ajarkan. Bahwa kesalehan ritual dengan mengamalkan surat dalam bacaan salat atau sekadar dihafalkan juga harus berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Bahwa mengamalkan surat itu tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tapi juga untuk kemaslahatan masyarakat sekitar (yang membutuhkan).
Siapakah Kyai itu? Hampir semua dari kita tahu, bahwa sosok sang Kyai itu adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan, sang Kyai pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Maka tak heran, jika surat al-Ma’un menjadi basis teologi Muhammadiyyah dalam berkegiatan yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Hampir tidak bisa kita lepaskan Muhammadiyah atau Kyai Dahlan dari pelajaran dahsyat tentang surat al-Ma’un itu. Maka jangan heran, jika Muhammadiyah sampai saat ini memiliki 77.227 PAUD, TK, TPA dan MI/SD, 2.915 SMP/MTS serta SMA/MA, 67 pesantren, 172 universitas, akademi dan politeknik, 457 rumah sakit, klinik, dan poliklinik, serta 454 panti asuhan, rumah jompo, dan pusat rehabiltasi cacat.Nah, inilah semangat yang coba dituliskan kembali oleh Najib Burhani dalam buku yang ditulisnya dengan judul Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme.
Menjelajah Islam BerkemajuanSetidaknya ada enam bab yang dipaparkan dengan baik oleh Najib Burhani dalam buku Muhammadiyah Berkemajuan ini. Bab pertama, diberi judul Muhammadiyah Sebagai Islam Berkemajuan, penulis menempatkan enam pokok bahasan. Bahasan pertama, menjelaskan duduk perkara antara Islam Nusantara yang diusung oleh NU sebagai teman (rival?) dari Muhammadiyah yang menggunakan jargon Islam Berkemajuan. Kemudian, penulis menukik, atau lebih tepatnya mendedah betapa banyaknya sektarianisme di tubuh umat Islam Indonesia. Bagian tiga, empat, lima dan enam dalam bab pertama, penulis, secara khusus membahas hal-hal yang berkenaan dengan Muhammadiyah, berkaitan tentang jalur atau corak persyarikatan Muhammadiyah. Dan mengumandangkan seruan untuk ijitihad baru di tubuh Muhammadiyah.
Identitas Muhammadiyah yang menjadi judul bab II, menyajikan komposisi atau unsur masyarakat Muhammadiyah. Keragaman kosmopolit di Muhammadiyah menjadi ulasan yang penting, bagaimana tidak? Sebagaimana NU, Muhammadiyah adalah organisasi yang menjadi benteng pertahanan Islam yang rahmatan lil alamin di Indonesia. Oleh karenya, Muhammadiyah menganjurkan warganya untuk ikut serta membendung berkembangnya kelompok takfiri, yaitu kelompok yang dengan sangat mudahnya menuduh kelompok lain yang tak sefaham dengan kelompoknya sebagai kafir. Dalam bab II ini juga dibahas tentang Islam moderat sebagai sebuah paradoks, apakah Muhammadiyah sebagai civil Islam?, Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa.
Pada bab ini penulis juga membahas tentang bagaimana Muhammadiyah melirik tasawuf, satu disiplin ilmu atau ajaran yang seringkali diasosiasikan lebih dekat ke NU ketimbang Muhammadiyah, karena Muhammadiyah dianggap anti-tasawuf, yang pada praktiknya banyak tawasul dan tahlil. Memulai pembahasan ini, penulis mengutip Haedar Nashir pada tahun 2001 yang mengatakan, “Ketika kita masih butuh rasionalisme, mengapa beberapa aktivis Muhammadiyah justru terlibat dalam gerakan antirasional seperti pada tasawuf atau spiritualitas? Namun, penulis kemudian menyusulkan pandangan lain dari Amin Abdullah, pada saat yang sama, mencoba menawarkan pendekatan yang selama ini dianggap asing dalam tradisi tarjih, yaitu pendekatan ‘irfani atau burhani, suatu pendekatan yang lekat dengan tasawuf.
Bab III buku ini mengupas Teologi al-Ma’un, yakni ajaran dasar dari kyai Dahlan tentang pemberdayaan masyarakat. Bagaimana Muhammadiyah menyikapi persoalan sosial yang ada di masayarakat. Juga membahas teologi mustad’afin dan fikih mustad’afin sebagai tawaran kebaruan.
Pembuka bab IV yang membahas tentang Muhammadiyah dan Politik terasa menjadi kurang relevan, pasalnya kritik penulis pada komposisi kabinet kerja Jokowi-JK yang (seolah) abai pada Muhammadiyah, akhirnya patah. Reshuffle kabinet jilid dua yang dilakukan oleh Jokowi-JK mamasukkan nama Muhajir Efendi sebagai nahkoda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, meski begitu analisa yang dibuat oleh penulis tentang pola hubungan Muhammadiyah, PAN dan pemilu 2014 menemukan jawabannya kembali. Muhammadiyah secara resmi berada di tengah atau netral. Namun, PAN, meski tidak lagi memiliki hubungan sedekat (dulu) dengan Muhammadiyah, telah menjatuhkan pilihan dukungan pada Prabowo-Hatta Rajasa, yang mana Hatta Rajasa adalah ketua umum PAN, walau Hatta tak bisa dibilang sebagai kader Muhammadiyah. Apa pun itu, setelah perhelatan pemilu selesai dan pemerintahan baru telah berjalan, PAN dalam kepemimpinan baru, merapat ke pemerintahan, dan pada akhirnya, kader Muhammadiyah masuk juga dalam kabinet kerja Jokowi-Jk. Menariknya, dalam bab IV ini penulis secara khusus membuat sub bab yang membahas tentang Amin Rais.
Muhammadiyah studies menjadi sorotan tersendiri bagi penulis, dalam bab V misalnya, ia secara khusus menjelaskan konsistensi Mitsuo Nakamura ketika mengkaji Muhammadiyah. Professor dari Universitas Chiba, Jepang, berumur lebih dari 80 tahun, menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji Muhammadiyah. Meski, ada beberapa peneliti yang mengkaji Muhammadiyah, namun sepertinya penulis menaruh simpati lebih banyak pada Prof. Mitsuo Nakamura. Penulis barangkali melihat konsistensi, kegigihan dan semangat yang dimiliki oleh Prof. Mitsuo Nakamura, meski dengan dana terbatas dan sedikit peneliti yang menekuni kajian Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah, ia tetap konsisten dengan kajian yang dipilih.
Bagian terakhir pada buku ini berisi tentang internasionalisasi dan manhaj Muhammadiyah, di dalamnya berisi tujuh sub bab. Din Syamsudin menjadi tonggak awal “gerakan” internasionalisasi Muhammadiyah. Din yang terpilih menjadi ketua umum Muhammadiyah pada tahun 2005, seringkali menjadikan internasionalisasi Muhammadiyah sebagai bahan kajian dan bahasan. Pada masa itu pula banyak berdiri PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di berbagai negara, seperti Jepang, Vietnam, Amerika, Mesir dan Belanda.
Terakhir sekali pada buku ini, penulis memberikan para pembaca sekalian bonus, dengan melampirkan tulisan-tulisan pendek dari kader Muhammadiyah tentang Muhammadiyah dan berbagai persoalan.
Belajar dari Kyai Rosul dan Kyai DarwisBuku ini penting dibaca oleh siapa pun, bahkan bagi orang di luar Muhammadiyah sekalipun. Buku ini mengajarkan atau setidaknya memperlihatkan sebuah sejarah yang seringkali dinafikan, yaitu sebuah keragaman. Dalam tubuh Muhammadiyah, sebuah organisasi besar, tak terelakkan dalam perbedaan pendapat. Penulis, memperlihatkan sebuah kenyataan tentang Muhammadiyah, sebagai organisasi, Muhammadiyah sangat bergantung pada Kyai Dahlan. Tetapi, pada aturan yang lebih teknis, yaitu pada teologi (fiqih?) pemikiran Kyai Rosul, ayah Buya Hamka, menjadi panutan.
Kedua kyai itu bukan tanpa perdebatan, Kyai Rosul penganut paham puritanis dan Kyai Darwis yang lahir dan besar di jantung budaya Jawa terlihat terbuka dengan budaya-budaya yang masih tercampur dengan praktik agama. Hal itu bisa dilihat saat Kyai Dahlan mempersilakan masyarakat sekitarnya melakukan tahlil untuk ayahandanya ketika meninggal, bahkan pada satu tahapan, saking permisifnya Kyai Dahlan, beliau membolehkan salat menggunakan bahasa Jawa jika seseorang tak paham (tak bisa) bahasa Arab.
Melihat hal itu, keragaman pendapat bukanlah sesuatu yang aneh atau menyimpang. Semuanya bisa berjalan dengan harmoni dengan syarat masing-masing orang atau golongan tidak memaksakan pendapatnya, sebagai pendapat paling benar dan menuntut yang lain untuk ‘mengimani’ pendapat tersebut.
Buku ini bisa menjadi buku pegangan, pengantar untuk kelas ke-Muhammadiyah-an untuk mahasiswa di universitas, mengingat buku ini secara rapih menuturkan bagaiamana Muhammadiyah mengambil peran dalam setiap zaman, persoalan, dan konteksnya. Meski begitu, harus juga ada penambahan materi dan penekanan pada bagian-bagian tertentu dalam buku setebal 215 halaman ini.
Sumbangan Muhammadiyah tidak boleh dianggap sebelah mata, melalui amal usahanya, Muhammadiyah telah membuka lembaga pendidikan dari tingkat paling kecil, taman kanak-kanak, hingga perguruan tinggi. Muhammadiyah juga mendirikan rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan di berbagai pelosok negeri, tidak hanya itu, Muhammadiyah juga meyiapkan professional medis untuk mengisi pos-pos kesehatan di Indonesia. Dan tentunya sumbangan para intelektualnya dalam membangun Indonesia dari rongrongan golongan yang anti Pancasila dan demokrasi yang setiap saat menggerogoti bangsa ini.
< Sw > Resensi By (Nur Hayati Aidah)
0 komentar:
Posting Komentar